PADANG, EXSPOSEDID – Koalisi Masyarakat Sipil (KMS) Sumatera Barat bersama Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) mendesak pemerintah membatalkan izin Persetujuan Komitmen Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) atas nama PT Sumber Permata Sipora (SPS) di Pulau Sipora, Kabupaten Kepulauan Mentawai.
Desakan ini disampaikan dalam audiensi KMS bersama Komisi IV DPRD Sumbar, Selasa (19/8/2025). Hasil pertemuan memutuskan DPRD akan memanggil PT SPS, Pemda Mentawai, serta masyarakat adat untuk dimintai keterangan.
Ketua Komisi IV DPRD Sumbar, Doni Harsiva Yandra, menegaskan pihaknya akan menindaklanjuti aspirasi masyarakat sipil.
“Stakeholder lain, termasuk pemerintah daerah dan masyarakat adat, perlu dihadirkan agar informasinya jelas dan komprehensif,” ujarnya.
Dugaan Pelanggaran Hukum dan Cacat AMDAL
Walhi Sumbar menilai PBPH SPS seluas 20.706 hektar itu bertentangan dengan UU No. 27 Tahun 2007 jo. UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Menurut aturan, pulau kecil seperti Sipora harus diprioritaskan untuk konservasi, riset, pariwisata berkelanjutan, budidaya laut, dan ketahanan pangan lokal.
Selain itu, dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) PT SPS juga disorot. Indah Suryani Azmi dari Walhi Sumbar menyebut ada banyak kejanggalan, mulai dari ketidaksesuaian kode KBLI, wilayah studi yang tidak mencakup area terdampak, data satwa endemik yang minim, hingga tidak adanya kajian bencana meski Sipora rawan gempa, tsunami, banjir, dan longsor.
“Penyusunan AMDAL juga tidak partisipatif, tidak berbasis data primer, dan mengabaikan hak-hak masyarakat lokal,” tegas Indah.
Ancaman terhadap Hutan Adat dan Mata Pencaharian Warga
Walhi juga menyebut konsesi PBPH SPS tumpang tindih dengan dua usulan hutan adat yang sedang diproses di Kementerian Kehutanan, yakni Hutan Adat Uma Sakerebau (1.021 ha) dan Uma Sibagau (7.377 ha), total 8.398 ha.
Selain itu, sekitar 425 keluarga di Desa Saureinuk menggantungkan hidup dari budidaya toek di sungai. Aktivitas ini, yang mayoritas dilakukan perempuan, menghasilkan Rp250.000–Rp750.000 per hari untuk biaya hidup dan pendidikan anak.
“Penebangan hutan akan memperparah krisis ekologis, meningkatkan risiko bencana, dan mengancam keberlanjutan ekonomi lokal,” ujar Tommy Adam, Kepala Departemen Advokasi Walhi Sumbar.
Respons Pemerintah
Kepala Dinas Kehutanan Sumbar, Ferdinal Asmin, menyatakan pihaknya belum mengeluarkan rekomendasi atas izin tersebut. “Masih berproses, belum ada rekomendasi,” ujarnya.
Sementara Plt Kepala Dinas Lingkungan Hidup Sumbar, Tasliatul Fuaddi, mengatakan pemerintah tengah mendorong standar diameter pohon minimum untuk penebangan ditingkatkan dari 40 cm menjadi 50 cm. (hen/ril)

